Rabu, 17 Februari 2016

Azab Allah, 7 Tahun Ariel Sharon Tersiksa Dalam Sekaratul Maut.

Jerusalem – : Sudah 7 tahun “TUKANG JAGAL” Ariel Sharon terbaring koma. Ia belum mati, namun tersiksa dalam sekarat. Betapa menderita, sejak terserang stroke pada 4 Januari 2006 lalu, pertama kali ia dirawat di Rumah Sakit Hadassah Ein Kerem di Yerusalem dan kemudian di Chaim Sheba Medical Center di Tel Hashomer. Menurut Komite Keuangan Knesset (parlemen Israel), ongkos pengobatan Sharon setiap tahun sekitar USD 440 juta atau setara Rp 4,25 triliun.

Para dokter pernah memasukkan Ariel Sharon ke ruang operasi untuk dilakukan pembedahan. Ia memiliki luka membusuk, lalu operasi dilakukan untuk menyambung bagian-bagian ususnya yang telah membusuk dan infeksinya telah menyebar ke bahagian tubuh lain. Penyumbatan yang terjadi di otaknya menyebabkan kerusakan di sekujur tubuh hingga membusuk. “Nyawa Sharon terancam,” kata juru bicara rumah sakit, Yael Bossem-Levy kepada kantor beritaAssociated Press.

Saat ini usia Sharon memasuki 85 tahun, kedua matanya dalam keadaan terus terbuka. Dokter-dokter yang merawat Sharon memberikan keterangan terkait kesehatan Sharon, saat ditanya sampai kapan keadaan Sharon akan terus menerus seperti ini, Shlomo Segev, dokter senior yang merawatnya mengatakan, “Kalau dikaji dari usia rata-rata di keluarga Sharon, ibu dan neneknya mati di atas usia 90 tahun”. Shlomo pun kemudian memperkirakan Sharon akan tetap dengan keadaannya seperti ini hingga lewat usianya di atas 90 tahun.

Sharon tergolek tak berdaya dengan bantuan berbagai alat medis yang tertancap ke tubuhnya, termasuk respirator, dalam ruangan khusus di Rumah sakit Tel Hashomer, sebelah timur Ibu Kota Tel Aviv. Tidak ada upacara khusus atau sekadar ucapan simpati buat lelaki 85 tahun itu. “Besok (Sabtu pekan lalu) juga tidak ada upacara khusus. Semua orang telah melupakan dia,” kata Raanan Gissin, bekas penasihat Sharon.
Cobalah pegang tangannya, belai rambutnya yang memutih dan sapalah dia dengan bahasa orang Arab yang sangat dibencinya, “Kaifa haluk yaa Sharon?” (Apa kabarmu Sharon?) Dia pasti tidak akan menjawab. Sebab itu hanyalah sebuah patung lilin dalam ukuran sebenarnya sebagai representasi dari Ariel Sharon. Seni instalasi karya Noam Braslavsky tersebut pertama kali ditampilkan di Galeri Seni Kishon di Tel Aviv. “Sebagai seorang seniman, adalah hak saya untuk memilih tokoh ini dan membawanya kembali menjadi kepala berita utama (di media massa),” kata Braslavsky, perupa Israel yang bermukim di Jerman.

Saat Sharon terkena stroke, seorang kru televisi Israel berhasil merekam gambarnya yang sedang berada di belakang sebuah mobil ambulan, terbaring setengah duduk dalam keadaan sadar. Itulah gambar terakhir dari Sharon yang dimiliki media. Sebab setelah itu, keluarga Sharon sengaja menutup rapat-rapat segala informasi tentang kondisi salah satu tokoh kontroversial dalam sejarah Zionis Israel itu. Sementara Sharon palsu didatangi banyak pengunjung di Kishon Gallery, Sharon asli terbujur kaku tidak sadarkan diri beberapa kilometer jauhnya, di Chaim Sheba Medical Center, Tel Hashomer.

Sharon yang akrab dipanggil Arik, terkena stroke berat sehingga otaknya dibanjiri darah, berbagai media internasional mengabarkan bahwa ia sudah mati, “ya” Mati. Hal itu wajar saja, karena setelah dinyatakan stabil pada 5 Januari 2006 oleh tim dokter, saat itu di Rumah Sakit Haddasah, keesokan harinya Sharon dimasukkan lagi ke ruang operasi.

Pada hari keenam, dokter berupaya membangunkannya dari keadaan tidak sadar, dengan cara mengurangi dosis obat anastesi. Ia pun kemudian bisa bernapas sendiri dengan bantuan respirator dan sedikit memberikan respon terhadap stimulus rasa sakit di lengan dan kakinya. Tetapi, Sharon yang sudah berpindah rumah sakit tidak juga bangun, meskipun keluarga sudah memperdengarkan alunan musik klasik karya komposer Mozart kesukaannya –seperti yang disarankan oleh dokter.

Hari berganti pekan, pekan berganti bulan. Sharon tidak lagi dikabarkan menderita pendarahan pada otaknya. Hanya saja, berbagai infeksi menyerang organ-organ tubuhnya yang lain secara bergantian. Dari otak, infeksi pindah ke paru-paru, ke ginjal, ke dalam darah, begitu seterusnya. Jantungnya yang diketahui bocor sejak sebelum koma, ikut memperburuk keadaan. Tim dokter yang merawatnya hanya menyampaikan dua kabar tentang Sharon. Yaitu, kondisinya memburuk karena ada gangguan pada organnya atau stabil, tapi tetap dalam keadaan koma.

Sebelum Ariel Sharon jatuh koma, diisukan kabar dari asisten pribadinya bahwa tidur malamnya sering diganggu oleh satu mimpi yang sama. Dalam mimpi itu Sharon ditangkap oleh penduduk GAZA yang begitu marah dan dendam kepada Sharon karena tindakannya yang angkuh menyerang tanah Palestina. Didalam mimpi itu Sharon telah disiksa, dirantai tangan dan kakinya kemudian diarak sekeliling bandar GAZA dan di masukkan kedalam api. Mimpi itu mengganggu Sharon setiap malam hingga dia jatuh koma. Tiada yang tahu akan derita Sharon menanggung mimpi-mimpi itu kecuali asisten pribadi Sharon. Asisten tersebut mengungkapkan mimpi-mimpi Sharon itu kepada khalayak di Israel pada tahun 2008. Khalayak di Israel telah menyiarkan berita tersebut, kemudian dikutip oleh media-media Asia Barat, seterusnya tersebar.
Demikianlah kita saksikan keadaan musuh Allah Subhanahu Wata’ala. Sharon merupakan musuh Islam yang sangat kejam dan gemar menumpahkan darah.Penyumbatan yang terjadi di otaknya menyebabkan kerusakan di sekujur tubuh hingga membusuk, namun ia masih hidup.

Congkak dan Kejam.

Sharon yang lahir 27 Februari 1928 pernah menjadi pemimpin Likud, partai terbesar dalam koalisi pemerintah di parlemen Israel, Knesset. Ia mengundurkan diri dari partai tersebut pada 21 November 2005, dan mendirikan partai baru yang bernama Kadima.

Selama tiga puluh tahun Sharon berdinas sebagai anggota Angkatan Bersenjata Israel. Pangkat tertingginya adalah Mayor Jenderal. Ia menjadi terkenal di Israel karena keterlibatannya dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967 dan Perang Yom Kippur pada tahun 1973. Ariel Sharon juga bertanggung jawab atas tragedi pembantaian Qibya pada 13 Oktober 1953. Saat itu 96 orang Palestina tewas oleh Unit 101, yang dipimpinnya, dan pembantaian Sabra dan Shatila di Lebanon pada 1982. Antara 3.000 dan 3.500 orang terbunuh dalam peristiwa itu, sehingga ia dijuluki sebagai “Tukang Jagal dari Beirut”.

Sepanjang sejarah upaya Zionis Yahudi mewujudkan ‘Eretz Yisrael’ di atas tanah Palestina, Ariel Sharon termasuk salah satu tokoh yang “tidak ada matinya.” Ia kerap muncul di setiap sejarah penting Israel. Sharon dilahirkan di Kfar Maalal, sebuah daerah pertanian di Palestina bagian barat, pada tahun 1928. Wilayah itu dulu di bawah kekuasaan Inggris. Keluarga orangtuanya adalah imigran dari Rusia, pendukung kuat Zionis Israel. Dalam otobiografinya disebutkan, nama kecil Sharon adalah ‘Buldozer’.

Pada masa kanak-kanak ia telah bergabung dengan gerakan pemuda Zionis. Saat remaja belasan tahun ia menjadi anggota paramiliter Zionis. Sharon bergabung dalam dinas militer Israel sebelum genap usia 20 tahun dan ditunjuk menjadi komandan pleton. Ia ikut perang pertama antara pasukan Zionis dengan Arab tahun 1948. Saat berkarir di militer maupun politik, Sharon dikenal sebagai seorang ‘hawkish‘. Seseorang yang tidak sungkan menggunakan kekerasan dan kekuatan bersenjata untuk menghajar semua lawannya.
  
General Moshe Dayan & Ariel Sharon, Yom Kippur War, 1973.

Namun di kemiliteran, ia paling dikenal dengan aksinya dalam Perang Arab-Israel tahun 1967 dan peperangan Yom Kippur Oktober 1973. Ia salah satu komandan pasukan Zionis yang berhasil meraih kemenangan dari pasukan Arab dalam waktu singkat. Keberhasilannya itu menjadi salah satu legasi Sharon, yang hingga kini terus diajarkan dan ditularkan kepada para kadet angkatan bersenjata Israel.
Di dunia politik, ia mendirikan Partai Likud pada tahun 1973, yang hingga kini dikenal sebagai partai paling kejam dan keras terhadap rakyat Palestina. Lawan-lawan politiknya di Israel pun mengakui ke-hawkish-annya. Setelah keluar dari Likud, ia membentuk Partai Kadima pada akhir 2005. Partai ini juga mendapat warisan sifat keras dari Sharon. Salah satunya bisa dilihat dari sepak terjang Tzipi Livni, Ketua Partai Kadima.

Meskipun perempuan, pemimpin Kadima itu adalah otak dan pengambil keputusan penting saat pasukan Zionis Israel menyerang Jalur Gaza akhir 2008 hingga pertengahan Januari 2009, yang dikenal dengan Operation Cast Lead.Tidak kurang dari 1.500 orang – kebanyakan anak kecil, wanita dan orangtua– menjadi korban tewas dalam serangan 22 hari tersebut. Serangan pasukan udara, darat dan laut Israel itu baru dihentikan hanya satu hari sebelum Amerika Serikat melantik Presiden Barack Obama.

Dalam urusan pemukiman Yahudi, Sharon yang pernah menjabat sebagai Menteri Perumahan dan Pembangunan Israel tahun 1990-1992 dan Menteri Infrastruktur Nasional Israel tahun 1996-1999, tidak mengenal kata ilegal dalam kamusnya. Semua pemukiman Yahudi yang dibangun, termasuk dengan cara merampas tanah milik warga Palestina, adalah sah. “Setiap orang harus bergerak, lari dan ambillah sebanyak mungkin puncak bukit sebisanya, untuk memperluas pemukiman (Yahudi). Sebab, semua yang kita bisa ambil akan tetap menjadi milik kita… Apa saja yang tidak bisa kita ambil, akan jatuh ke tangan mereka,” Itulah kutipan perkataan Sharon, saat berbicara di hadapan militan dari kelompok ekstrim sayap kanan Partai Tsomet, ketika menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, 15 Nopember 1998.

Kecongkakan Sharon dan kebenciannya terhadap orang Arab dan Palestina sudah mendarah-daging dalam dirinya sejak dulu, ia seorang yang kejam. Dalam wawancaranya dengan Jenderal Ouze Merham pada 1956, Sharon berkata:

“Saya tidak tahu ada yang namanya prinsip-prinsip internasional. Saya bersumpah, akan saya bakar setiap anak yang dilahirkan di daerah ini.Perempuan dan anak-anak Palestina lebih berbahaya dibandingkan para pria dewasa, sebab keberadaan anak-anak Palestina menunjukkan bahwa generasi itu akan berlanjut. … Saya bersumpah, jika saya sebagai seorang Israel bertemu dengan seorang Palestina, maka saya akan bakar dia. Dan saya akan membuatnya menderita sebelum membunuhnya. Dengan satu pukulan saya pernah membunuh 750 orang Palestina (di Rafah tahun 1956). Saya ingin menyemangati prajurit saya agar memperkosa gadis-gadis Arab, karena perempuan Palestina adalah budak untuk Yahudi dan kami dapat berbuat apa saja yang kami inginkan kepadanya. Tidak ada yang boleh menyuruh kami apa yang harus kami lakukan, justru kami yang memerintah mereka apa yang harus mereka lakukan.”

Sumber : ahmadirpan-pejuangpena.blogspot.com

Senin, 15 Februari 2016

mencintaimu dengan benar

MA FI QALBI GHAIRULLAH (Tiada di dalam hatiku kecuali Allah)


Memang perlu waktu untuk memahami dan mendalami makna cinta
kepada dan karena Allah.
Namun ketika kau sudah memahaminya, maka tak kan ada lagi
satu cinta manusia pun yang mampu merobek hatimu hingga hancur;
sebab cinta karena Allah bukanlah tentang siapa yang kau cintai dan mencintaimu,
melainkan tentang seberapa dekat dirimu dengan Sang Pencipta.
Kedekatanmu dengan Allah akan membimbingmu
kepada siapa hatimu pantas kau labuhkan;
Kedekatanmu dengan Allah pun akan membimbingmu
kepada siapa hatimu harus kau jauhkan…
Cinta kepada dan karena Allah akan membuatmu
mampu melihat dengan kedalaman hati;
bahwa cinta manusia yang terbungkus kotak indah dan berpita emas
seringkali hanyalah cinta yang hanya akan membuatmu terjebak
dalam kebatilan dan mengundang murkaNya;
Cinta kepada dan karena Allah akan membuatmu
selalu mampu bersabar dan ikhlas menerima semua ketentuanNya;
Dengan kebesaran cinta Allah, kau akan sangat bahagia ketika Allah menganugerahimu seseorang yang tanpa lelah mengajakmu menuju Jannah.
Dengan kebesaran cinta Allah, kau pun akan tetap bahagia jika Allah merenggut seseorang/sesuatu dari sisimu,
karena kau paham bahwa Allah seringkali mengosongkan tangan kita
hanya agar Allah dapat memberimu seseorang/sesuatu yang jauh lebih baik…
Maka bersyukurlah jika kau sudah memahami semua itu.
Lalu ucapkanlah dalam hatimu dengan penuh keyakinan,
“Ma fi qalbi Ghairullah!”
“Ma fi qalbi Ghairullah!”
“Ma fi qalbi Ghairullah!”
Lalu berbahagialah!
Karena kau tak kan pernah merugi jika menyandarkan semua cinta dan hidupmu kepada dan karena Allah.
In Syaa Allah.
**Dirimu tanpa cinta kekasihmu tetaplah akan menjadi dirimu,
sedangkan dirimu tanpa cinta kepada dan karena Allah mungkin hanya akan hancur tanpa sisa.

Rabu, 10 Februari 2016

Sebuah pertemuan UNIC

Ketika diri mencari sinar
Secebis cahaya menerangi laluan
Ada kalanya langkahku tersasar
Tersungkur di lembah kegelapan
Bagaikan terdengar bisikan rindu
Mengalun kalimah menyapa keinsafan
Kehadiranmu menyentuh kalbu
Menyalakan obor pengharapan
C/O 1:
Tika ku kealpaan
Kau bisikkan bicara keinsafan
Kau beri kekuatan, tika aku
Diuji dengan dugaan?
Saat ku kehilangan keyakinan
Kau nyalakan harapan
Saat ku meragukan keampunan Tuhan
Kau katakan rahmat-Nya mengatasi segala
(*) Menitis airmataku keharuan
Kepada sebuah pertemuan
Kehadiranmu mendamaikan
Hati yang dahulu keresahan
Cinta yang semakin kesamaran
Kau gilap cahaya kebahagiaan
Tulus keikhlasan menjadi ikatan
Dengan restu kasih-Mu, oh Tuhan
C/O 2:
Titisan air mata menyubur cinta
Dan rindu pun berbunga
Mekar tidak pernah layu
Damainya hati
Yang dulu resah keliru
Cintaku takkan pudar diuji dugaan
Mengharum dalam harapan
Moga kan kesampaian kepada Tuhan
Lantaran diri hamba kerdil dan hina
Ulang (*)
Syukur sungguh di hati ini
Dikurniakan teman sejati
Menunjuk jalan dekati-Nya
Tika diri dalam kebuntuan
Betapa aku menghargai
Kejujuran yang kau beri
Mengajarku mengenal erti
Cinta hakiki yang abadi
Tiada yang menjadi impian
Selain rahmat kasih-Mu Tuhan
Yang terbias pada ketulusan
Sekeping hati seorang insan
Bernama teman

http://mp3g.lu/search.php?q=nasyid

Selasa, 09 Februari 2016

Bukan Sembarang AYAH

Tidak ada yang meragukan pentingnya peran ibu dalam pendidikan anak-anaknya, kasih sayang dan perhatian dari seorang Ibu mempunyai pengaruh yang besar pada kepribadian anak. Perhatian dan kasih sayang tersebut akan menimbulkan perasaan di terima dalam diri anak-anak dan membangkitkan rasa percaya diri di masa-masa pertumbuhan mereka.

Di lain pihak, bila kita membicarakan peran ayah dalam pendidikan seorang anak, timbul pendapat yang berbeda-beda dalam perspektif masyarakat kita, khususnya masyarakat muslim. Ada yang berpendapat bahwa pengasuhan dan pendidikan anak adalah peran utama seorang ibu, sementara ayah cukup memenuhi kebutuhan materi sang anak saja, dan menyibukkan diri dengan dunia kerja.

Ada juga yang cukup menyisihkan hari-hari liburnya untuk keluarga secara umum, meskipun tidak khusus menyediakan waktu untuk anak. Nah, sekarang, bagaimana pandangan Islam tentang peran ayah dalam pengasuhan anak ini? Dan bagaimana hasil-hasil penelitian mutakhir tentang bagaimana seharusnya peran seorang ayah dalam pendidikan anak?

Dalam Islam, peran mendidik anak bukan lah mutlak kewajiban seorang ibu, tetapi justeru dalam al-Qur’an banyak kisah-kisah yang menceritakan besarnya peran ayah dalam pendidikan anak. Salah satu contoh yang paling jelas adalah kisah Luqman yang sedang memberikan nasihat kepada anak-anaknya di surat Luqman (surat 31 ayat 13 dan seterusnya..).

Begitu juga kita bisa melihat sejarah nabi-nabi dan Rosul yang kental dengan kuatnya peran ayah dalam pendidikan mereka, seperti kisah nabi Sulaiman yang dididik oleh ayahnya, nabi Daud, khusus untuk menggantikan posisinya sebagai raja, atau Nabi Yusuf yang mendapatkan curahan kasih sayang dari Nabi Ya’kub sehingga sampai membuat iri saudara-saudaranya yang lain. Juga Rosulullah sendiri, yang meskipun ditinggal oleh ayahnya sejak dalam kandungan, tapi peran sang ayah ini tergantikan oleh kakek dan pamannya yang mengasuhnya di waktu beliau kecil dan sedikit banyak menyuburkan sifat-sifat kepemimpinan dan bakat dagang beliau setelah dewasa.

Tentu saja semua hal ini tidak terlepas dari tarbiyah Robbaniyyah (pendidikan langsung dari Allah) mengingat tugas-tugas mereka sebagai Nabi dan Rosul, namun dari kisah-kisah Nabi dan Rosul tersebut terlihat jelas peranan ayah dalam pendidikan putera-puteranya.

Di kalangan tokoh gerakan Islam, terdapat sosok Hasan Al-Banna yang menceritakan peran ayahnya dalam mendorong pengembangan potensi beliau (diantara pengaruh guru-gurunya yang lain) sehingga beliau bisa mendirikan gerakan Islam terbesar di abad ini. Seorang tokoh pergerakan Islam Indonesia, Buya Hamka, bahkan memiliki kenangan tersendiri tentang ayahnya, yang sekaligus juga gurunya, sampai-sampai beliau menuliskan buku khusus, yang berjudul : “ Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abd. Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera”.

Uniknya, dari semua kisah-kisah dalam Al-Qur’an, tidak ada satu pun yang khusus menyebutkan pengaruh peran ibu dalam kehidupannya secara detil melalui dialog-dialog antara ayah dan anak seperti pada kisah-kisah di atas, hatta pada nabi yang sejak kecil hanya di asuh oleh ibunya, seperti Nabi Isa dan Nabi Ismail. Begitu juga catatan tokoh-tokoh Islam terkemuka di atas, tidak terungkap peran ibu dalam mempengaruhi kepribadian mereka. Setahu penulis hanya hadis-hadist Rosulullah saja yang menegaskan pentingnya peran wanita dalam pendidikan anak-anaknya.

Hal ini dapat menunjukkan besarnya pengaruh peran ayah dalam perkembangan anak, bisa juga untuk menunjukkan bahwa dalam Islam, tidak ada batasan yang tegas antara peran ibu dan peran ayah dalam pendidikan anak, wallahu a’lam.Hal ini menarik untuk di kaji dan di teliti oleh para ahli agama dan psikologi abad ini.

Dalam penelitian-penelitian terakhir, membuktikan pentingnya peran ayah dalam pendidikan anak-anaknya. John Gottman dan Joan De Claire dalam buku “Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki

Kecerdasan Emosional” mengungkapkan beberapa hasil penelitian tentang pentingnya peran ayah dalam pendidikan anak-anaknya, khususnya dalam perkembangan emosional sang anak.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa keterlibatan ayah dalam kehidupan perkembangan anak laki-laki menghasilkan kesuksesan dalam persahabatan dan prestasi akademis anak, sedangkan bagi anak perempuan, membuat anak cenderung tidak longgar dalam aktivitas seksual dan lebih bisa membangun hubungan yang sehat ketika dewasa.

Perbedaan cara pengasuhan ayah dan ibu saat kecil juga menimbulkan efek yang berbeda pada anak-anak dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Anak di usia lima bulan yang mengalami hubungan positif dengan ayah, membuat ia lebih nyaman dan lebih sedikit menangis ketika berada di antara orang dewasa yang asing baginya, dibanding anak yang tidak memiliki hubungan positif dengan sang ayah.

Dalam buku itu juga disebutkan, gaya pengasuhan ayah yang cenderung lebih pada permainan fisik seperti mengayun-ayun, mengangkat dan menggelitik menghasilkan roller coaster emosi yang menolong anak mempelajari emosi-emosi takut dan senang serta memperhatikan reaksi sang ayah ketika ia mengungkapkan perasaannya melalui jeritan dan tawanya. Anak juga belajar bagaimana menenangkan kembali emosinya di saat permainan tersebut selesai. Selain itu juga terungkap, anak-anak yang memiliki hubungan positif dan menyenangkan dengan sang ayah cenderung lebih populer dibandingkan anak-anak yang tidak memiliki hubungan tersebut.

Dari sumber-sumber di atas jelaslah pentingnya peran ayah dalam pendidikan anak. Sayangnya, saat ini, hanya sedikit para ayah yang mau dan bersedia menyediakan waktunya khusus untuk pendidikan anak, terutama bagi para mahasiswa dan pekerja yang tinggal di Jepang, mungkin bisa dihitung berapa banyak waktu yang tersisa untuk pendidikan anak-anaknya. Kebanyakan peran tersebut berada di tangan para ibu yang punya lebih banyak waktu untuk berada di rumah dibandingkan dengan sang ayah.

Berikut ini ada beberapa saran bagi para ayah yang ingin terlibat dalam pendidikan anak-anaknya, yaitu:

1. Bagi yang belum beristeri, peran utamanya adalah mencarikan calon ibu yang sholihah sebagai madrasah pertama untuk pendidikan anak-anaknya. Sedangkan bagi yang sudah menjalani bahtera rumah tangga, perannya tentu menjadikan sang Isteri lebih sholihat dari waktu ke waktu agar mampu mendidik anak-anaknya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

2. Terlibat dalam perawatan anak sejak masa kehamilan. Hal ini penting untuk mengenal lebih dalam karakter dan kebiasaan yang di bawa oleh anak-anak sejak dini.

3. Belajar untuk mengelola emosi untuk menghadapi tingkah laku anak. Sering kali sang ayah kesulitan menghadapi tingkah laku yang tidak terduga dari anak, misalnya suka berganti-ganti keinginan dalam satu waktu, atau tidak sabar ketika menginginkan sesuatu. Untuk kondisi seperti ini dibutuhkan pengelolaan emosi yang baik agar anak-anak tetap merasa nyaman berada bersama sang ayah.

4. Menyediakan waktu yang cukup untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pribadi setiap anak. Setiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda, dan untuk menguatkan hubungan antara ayah dengan anak, diperlukan waktu khusus untuk memenuhi kebutuhan setiap anak.

5. Banyak beramal sholih yang bisa dijadikan contoh oleh anak dan bisa menjadi jaminan memperoleh syurga bagi ayah, ibu serta seluruh keturunannya.

Tentu saja tantangan terberat bagi ayah yang ingin terlibat dalam pendidikan anak-anaknya adalah bagaimana mempertahankan motivasi tersebut agar bisa tetap terlibat terus menerus dalam pendidikan anak-anak sampai mereka dewasa. Dan hal ini tidak boleh dikalahkan oleh kesibukan bekerja atau aktivitas lain baik di dalam rumah, maupun di luar rumah.

Semoga tulisan ini bisa menjadi pemicu bagi para ayah untuk lebih terlibat langsung dalam pendidikan anak-anaknya. (Fahima.org)



Sumber:

1. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya

2. Ir. Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid, Cara Nabi Mendidik Anak

3. John Gottman dan Joan De Claire, Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional

4. Al Imam As-Syahid Hasan Al-Banna, Memoar Hasan al-Banna

5. Solichin Salam dkk, Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka

kisah istri Hamka

Pada Ramadan ini saya ingat cinta seorang lelaki berkopiah kepada seorang perempuan muslimah—mungkin perempuan terbaik dalam hidupnya.

Di masa sulit pemerintahan Soekarno, di suatu sore di bulan Ramadan, muslimah yang dicintai seorang lelaki berpeci itu menunggu kedatangan tukang susu murni. Tukang susu langganannya biasa mengantar susu tiap sore pukul empat. Sementara anaknya, yang rutin minum susu murni itu, biasa minum pukul lima sore.

Tapi pukul empat, setengah empat, pukul lima berlalu—tukang susu tak kunjung datang.

Perempuan itu mulai panik.

Waktu maghrib datang tukang susu baru tiba. Perempuan muslimah yang khawatir itu melangkah tergesa-gesa ke luar rumah. Mungkin akan marah-marah. Cepat-cepat tukang susu mengeluarkan termos kecil dari tasnya, menyerahkan susu pesanan perempuan itu, dan meminta maaf. “Ada halangan di jalan,” katanya. Tukang susu kemudian buru-buru mohon ijin membatalkan puasa.

Tapi perempuan muslimah itu tidak marah-marah—kita sudah salah sangka. Malah ditawarinya tukang susu untuk berbuka puasa bersama suami dan anak-anaknya. Tukang susu menolak, mungkin segan. Apalagi ia baru saja bikin salah. Tapi barangkali kebaikan memang harus diperjuangkan: kalau menolak ke dalam, makan di teras saja. Terjadilah kompromi. Atas buka gratis yang tak bisa ditolak hari itu, tukang susu berkata: “Terima kasih. Saya belum pernah menemui ibu yang sebaik Ibu.”

Setelah peristiwa itu tukang susu selalu datang lebih awal, sekitar pukul tiga sore, dengan susu perahan yang masih hangat—tapi, tentu saja, bukan ini yang penting.

Di sore Ramadan yang lain, bertahun-tahun setelah peristiwa tukang susu, sehabis perempuan itu menyiram bunga-bunga di halaman, seorang pedagang pisang berhenti.

“Permisi, Nyonya Besar,” katanya, “tolong dibeli supaya saya bisa buka puasa dan buat ongkos saya pulang ke kampung.”

Perempuan itu mengamati tandan-tandan. Hanya dilihatnya pisang yang layu dengan kulit yang bocel-bocel.

Mengerti kekurangan-kekurangan pisangnya, tukang pisang itu sekali lagi memohon dengan risau. “Saya jual dua sisir sepuluh ribu, Nyonya.”

Tapi transaksi belum terjadi ketika terdengar adzan maghrib. Tampak tukang pisang kebingungan. Mungkin karena ia tak ada rupiah atau sekedar air putih buat membatalkan puasa. Nyonya baik hati itu mengerti: ia menawarkan tukang pisang untuk membatalkan puasa sekalian makan bersama suami dan anak-anaknya di dalam rumah.

Tapi, sama seperti cerita tukang susu, tukang pisang merasa sungkan, “Saya minta air teh saja, jangan diajak masuk.”

Perempuan itu tidak memaksa. Ia hanya meminta pembantu membawakan minum dan kolak pisang, beserta nasi dan lauk pauk sebagai makan malam tukang pisang.

Selesai berbuka dan makan malam sang nyonya membeli pisang dua sisir. Ia tak memborongnya. “Kalau saya semua nanti malah saya yang jadi tukang pisang,” perempuan itu bergurau. Ia memberi tukang pisang sepuluh ribu, ditambah lima belas ribu—tambahan buat ongkos pulang naik angkot, bis, dan ojek.

Tentu saja kebaikan perempuan itu tidak hanya di rumah, dan tidak hanya kepada kaum yang sering membungkuk dalam-dalam tiap ketemu tuan dan nyonya besar seperti tukang pisang dan tukang susu dalam cerita di atas.

Tiap Ramadan, perempuan itu membuat daftar siapa-siapa kerabat yang akan dikunjungi. Ia tak pilih-pilih, entah itu kaya atau miskin. Selama masih di Jakarta, bahkan kerabat yang rumahnya di tengah wilayah pelacuran pun didatangi. Ia tak peduli kata orang karena tak ada yang salah dengan silaturahim (saudaranya sampai menangis karena haru). Dan ia tidak mengharuskan yang lebih muda mendatangi yang tua—semua sama, tak ada yang harus merasa paling layak untuk memulai.

Mungkin karena akhlak semacam itu, lelaki berkopiah yang mencintai perempuan muslimah baik hati itu menaruh hormat. Lelaki itu, misalnya, menuruti saran sang perempuan agar dirinya tidak menerima pangkat mayor jenderal tituler dari pemerintah (wakil pemerintah dalam hal ini, waktu itu, Jenderal Nasution). Begitu pula saat lelaki itu ditawari menjabat Duta Besar RI di Arab Saudi. Kekuasaan dan kelimpahan harta di depan mata, tapi perempuan yang selalu di sisinya bertanya: kalau sibuk, kapan waktu untuk mengaji Al-Quran yang tidak pernah ditinggalkan sejak kecil, kapan waktu untuk membaca dan menambah ilmu—pertanyaan yang bertaut pada akhirat.

Perempuan itu ingin lelaki yang mencintainya, yang dicintainya, memilih peran di sebuah masjid yang baru berdiri di dekat komplek rumahnya: Masjid Agung Al-Azhar. “Lebih terhormat di hadapan Allah,” katanya—kita bisa membayangkan tatapannya yang lembut tapi yakin.

Dan lelaki itu menurut. Perempuan itu telah memberinya keteguhan hati: jangan-jangan ia memang tak butuh pangkat dan jabatan, jangan-jangan ada yang jauh lebih berharga ketimbang sejumlah rupiah dan sebuah posisi.

Maka saya ingat, setelah perempuan itu wafat, lelaki berkopiah itu selalu salat taubat jika ingat padanya—perempuan terbaik dalam hidupnya—dan kuat sekali lanjut membaca kitab suci sampai 5-6 jam—sampai mengantuk, sampai 6-7 kali khatam per bulan. Ketika anaknya bertanya kenapa ia begitu rajin, sampai salat taubat segala, lelaki itu berkata sesuatu yang memang tak mudah: “Ayah takut, kecintaan Ayah kepada Ummi melebihi kecintaan Ayah kepada Allah.”

Saya ingat siapa lelaki yang mengajari kita tentang cinta dan akidah itu: namanya Hamka. Dan perempuan itu: istrinya.

Akhlak istri adalah cerminan akhlak suami, kalau kata orang

Belajar Jatuh Cinta dari Istri Buya Hamka

“SAYA diminta berpidato, tapi sebenarnya ibu-ibu dan bapak-bapak sendiri memaklumi bahwa saya tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato dari sejak memasakkan makanan hingga menjaga kesehatannya.”
Itulah kalimat singkat dari Siti Raham binti Endah saat didapuk memberikan pidato  dalam kunjungan Buya Hamka ke Makassar. Tak disangka, ucapan dari wanita bersahaja itu mendapat sambutan besar dari ribuan hadirin. “Hidup Ummi.. Hidup Ummi!” pekik massa.
Buya Hamka pun meneteskan air mata. Tangis haru dari ulama besar itu mengiringi langkah kaki sang kekasih turun dari panggung. Betapa besar pengorbanan istri tercintanya dalam masa-masa perjuangan. Siti Raham adalah garansi dari ketawadhuan di balik nama besar Buya Hamka.
Kisah cinta mereka dimulai pada 5 April 1929. Kala itu, Siti Raham berusia 15 tahun. Sedangkan Buya Hamka berumur 21 tahun. Sejak itu, mereka sah menjadi pasangan suami istri. Ya, di sebuah usia di mana para muda-mudi saat ini lebih sibuk memakan rayuan.
Perjuangan Buya Hamka meminang Siti Raham patutlah ditiru. Tidaklah salah Allah menganugerahi manusia dengan kekuatan akal pikirannya. Buya Hamka kemudian menulis roman berbahasa Minang berjudul “Si Sabariyah”. Buku itu dicetak tiga kali. Dari honor buku itulah Buya membiayai pernikahannya.
Banyak suka dan duka mewarnai perjalanan Buya Hamka merajut rumah tangga. Ulama Muhammadiyah itu tidak salah memilih Siti Raham. Di saat ujian datang, wanita kelahiran 1914 ini tampil sebagai motivasi baginya. Tanpa mengeluh maupun gundah.
“Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain,” tutur Hamka dalam buku biografi “Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka” karangan Rusydi Hamka.
Puncak kemiskinan dua sejoli ini terjadi ketika lahir anak ketiga, yaitu Rusydi Hamka. Dia dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin, Padang Panjang pada 1935. Sedangkan anak pertama Buya Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun. Besarnya beban ekonomi ditambah kerasnya penjajahan, membuat Hamka harus memutar otak untuk membiayai anak-anaknya.
Dalam kondisi kekurangan, pergilah Hamka ke Medan untuk bekerja di Majalah Pedoman Masyarakat. Nama penanya Hamka.
Selama di Medan, ia banyak menulis artikel di berbagai majalah dan sempat menjadi guru agama saat beberapa bulan di Tebing Tinggi. Ia mengirimkan tulisan-tulisannya untuk surat kabar Pembela Islam di Bandung dan Suara Muhammadiyah yang dipimpin Abdul Rozak Fachruddin di Yogyakarta.
Selain itu, ia juga bekerja sebagai koresponden di Harian Pelita Andalas dan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927. Dari situlah lahir Novel Hamka Di Bawah Lindungan Ka’bah. Di kota yang kini menjadi ibukota Sumatera Utara itu, Hamka tinggal selama sebelas tahun.
Menurut penuturan Rusydi Hamka, saat itulah dia menyaksikan dan mengalami kesulitan-kesulitan hidup kedua orangtuanya. Di balik tanggung jawab sang ayah, tak lupa kesetiaan Siti Raham senantiasa bersamanya. Wanita tegar itu senantiasa menjalankan amanah Buya Hamka untuk menjadi istri yang taat suami dan mendidik anak-anak di kala Buya tiada bersamanya.
Namun di tengah keterbatasannnya, Hamka sukses menulis buku Tasawuf Modern, sebagai karangan bersambung dalam majalah Pedoman Masyarakat. Setelah selesai pemuatan dalam majalah, atas permintaan pembaca Tasawuf Modern diterbitkan sebagai sebuah buku untuk pertama kali tahun 1939.
Penerbitan pertama ini ternyata mendapat sambutan dari masyarakat sehingga mengalami cetak ulang beberapa kali dari sebuah penerbit di Medan. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Tasawuf Modern kembali diterbitkan di Jakarta sekitar tahun 60-an.
Dengan kondisi pas-pasan, Buya Hamka mampu menahkodai rumah tangga dengan tujuh orang anak. Itu belum ditambah beberapa kemenakan yang ikut dibiayai Buya Hamka. Sebab dalam adat Minang, seorang Mamak punya tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara perempuannya.
Rusydi mengatakan Hamka adalah orang yang biasa-biasa saja. Berbeda dengan pria keturunan Minang yang pandai berdagang, Buya Hamka bukanlah orang yang mewarisi bakat berbisnis. Hamka juga bukanlah orang yang hidup dari gaji pemerintah.
“Ketika pindah ke Padang Panjang dalam suasana revolusi, ayah jelas tak punya sumber kehidupan tetap yang diharapkan setiap bulan,” terang Rusydi Hamka.
Saat memimpin Muhammadiyah di Sumatera Barat, Buya Hamka kerap keliling kampung untuk berdakwah. Perjalanan itu dilaluinya dengan Bendi maupun berjalan kaki. Hal itu dilakukan selama berhari-hari tanpa pulang ke rumah.
Maka saat menemui istrinya di rumah, pertanyaan yang sering diutarakan Buya Hamka adalah: Apakah anak-anak (bisa) makan? Hingga Buya Hamka sengaja menepuk perut anak-anaknya untuk mengetahui apakah buah hatinya lapar atau kenyang.
Di sinilah, Siti Raham sukses menjalankan amanah sebagai Ibu. Agar anak-anaknya tidak kelaparan, Siti Raham rela menjual harta simpanannya. Beliau bukanlah wanita menjadikan perhiasan sebagai makhota. Karena makhota sejatinya adalah Buya Hamka dan keluarga.
Maka kalung, gelang emas, dan kain batik halus yang dibelinya di Medan terpaksa dijual di bawah harga demi membeli beras dan membayar uang sekolah anak-anak. Biarlah dirinya kesusahan, asal perut anak-anaknya tidak kelaparan dan tetap bisa melanjutkan pendidikan.
Kerap kali dirinya meneteskan air mata, ketika membuka almarinya untuk mengambil kain-kain simpanannya untuk dijual ke pasar. Tak tega melihat istrinya terus menguras hartanya, Buya Hamka sontak mengeluarkan beberapa helai kain Bugisnya untuk dijual. Namun sang istri mencegahnya.
“Kain Angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja. Karena Angku Haji sering keluar rumah. Di luar jangan sampai Angku Haji keliharan sebagai orang miskin,” ujarnya.
Demikianlah dalam keadaan sederhana Siti Raham masih mempertimbangkan kehormatan suaminya. Apa saja dilakukannya agar Buya Hamka tidak terlihat lusuh di mata jama’ah dan masyarakat. Dari mulai memikirkan pakaian hingga membersihkan kopiah bila Buya Hamka hendak keluar. Karena cinta adalah kehormatan.

Maka melihat Buya Hamka menangis saat dirinya turun dari mimbar pidato di Makassar, sang istri hanya bisa tersenyum, “Kan yang Ummi pidatokan itu kenyataannya saja.”