Jumat, 22 Januari 2016

Lebih Sulit Bagimu Tanpa Aku

Mungkin, aku hanyalah figuran dalam hampir semua adegan penting kehidupanmu…
Di hari pertama pertemuan kita, aku seolah akan menjadi pemeran utama yang menemanimu di setiap angle kamera. Waktu itu kita bertabrakan di depan perpustakaan. Bahu kirimu menyenggol bahu kananku, menghamburkan setumpuk buku yang sedang kupeluk saat itu.
Kamu mengucapkan maaf, tentu saja… Membuat dadaku berdebar hebat. Lalu kita sibuk memunguti buku-demi buku, secepat kalimat yang meluncur dari lidahku saat mengatakan, “Nggak apa-apa, nggak apa-apa.
Kamu tersenyum. Senyum seorang bintang. Senyum yang dinantikan semua penonton untuk rekah di ujung sebuah skenario saat sebuah adegan canggung dipentaskan. Lalu angin meniup ujung rambutmu dan tanganmu seketika berusaha merapikannya lagi—kamu tak pernah ingin terlihat salah dalam urusan penampilan.
Dan aku? Berdiri di sudut lainnya, mengabur saat fokus kamera terus saja berusaha menangkap-nangkap gambarmu. Di sana, kamu menoleh lagi ke arahku. Fokus kamera kini menangkap wajahku, tubuhku, kecanggunganku, semua aktingku yang mentah dan tidak natural.
Setelah beberapa detik, tentu saja kita harus berpisah. Dan kamu melanjutkan jalan ceritamu yang istimewa dan luar biasa. Kamu terus menjadi objek paling depan dan paling dekat dengan kamera. Kamu terus berada di bawah sorot lampu blitz atau di bawah kilau cahaya reflektor yang membuat segalanya tampak sempurna. Sementara aku, terus saja menjadi figuran dalam setiap adeganmu… Berdiri di sutut paling kecil, paling tak terlihat, dan paling blur dari semuanya. Tidak apa-apa. Aku bahagia melihatmu bahagia. Aku bahagia menjalani semuanya.
Scene demi scene berlalu. Teriakan cut Sang Sutradara menjadi akrab di telinga. Dan pada saatnya, seperti skenario manapun, bintang utama harus terjatuh atau terluka atau hampir terbunuh atau apa saja yang membuat segalanya akan terasa makin menarik lagi. Jika saat itu terjadi, gambar menjadi gelap. Kamera menjauh dan mendekat. Cahaya diredupkan. Dan musik sedih mulai dimainkan…
Di sanalah aku menjadi penting. Saat singkat di mana aku bia mengambil alih semua fokus kamera. Momen di mana aku boleh membacakan sebaris atau dua baris dialog semacam, “Kamu tidak apa-apa?” atau “Kamu baik-baik saja?” Tapi itu sudah cukup. Lebih dari cukup. Akhirnya aku bisa menjadi penting meski memerankan sebuah peran yang tidak penting.
Maka kamu mengangguk. Mengulurkan tanganmu. Menghempaskan sedih atau sakitmu. Dan aku menjadi manusia paling bahagia di dunia karena membantumu berdiri lagi, bangkit lagi, kembali ke fokus kamera lagi, dan menguasai semua adegan lagi.
Demikianlah aku akan kembali pada takdirku sendiri. Mengabur dalam pandangan, meski terus tersenyum kegirangan. Suaraku mengecil, menjadi sayup-sayup dan tak dibutuhkan lagi.
Mungkin memang aku hanyalah figuran dalam hampir semua adegan penting kehidupanmu. Tetapi, tanpa aku kamu tak akan sehebat itu. 
FAHD PAHDEPIE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar